Kita tahu rekan kita yang sebetulnya pandai, tapi mengaku jika ia bodoh. Peristiwa ini dalam Psikologi Sosial diberi nama Self-Deprecation atau merendahkan diri. Walau sebenarnya, bukanlah kita harus jadi nama baik dan imej kita dari muka umum? Baca selanjutnya untuk penuturannya.
Self-Deprecation: Merendahkan Diri, tetapi Mengapa?
Table of Contents
– Apakah itu Self-Deprecation?
– Self Deprecating Jokes
– Apa Imbas dari Self-Deprecation?
– Berasa stres dan kuatir
– Jadi makin pesimis
– Dampak Positif dari Self-Deprecation
Apakah itu Self-Deprecation?
Self-deprecation sebagai salah satunya langkah untuk berbicara dan kerap kali datang lewat self-deprecating jokes. Dapat disebutkan bila pengucapan yang memiliki kandungan penilaian diri negatif terhitung self deprecating (Speer, 2019).
Memiliki arti temanmu yang pandai itu, tapi menjelaskan dianya bodoh terhitung self-deprecating! Masih banyak contoh yang lain, seperti gurauan yang menertawai diri kita.
Tetapi apa arah beberapa orang ini? Mengapa mereka jatuhkan diri mereka di muka seseorang? Semestinya mereka senang dan positif pada diri sendiri kan?
Menurut Speer SA (2019) kita lakukan self-deprecation supaya berkesan rendah hati dan tidak arogan ke musuh berbicara, dan kerap kali dilaksanakan ketika berada seorang dengan status yang semakin tinggi. Riset itu menambah bila tindakan “merendahkan diri” itu akan membuat kamu berkesan lebih dicintai, karena membuat pengetahuan antara kamu dan seseorang.
Kamu coba pikirkan berjumpa orang baru, tapi dia segera menyombong perolehannya saat kalian berjumpa. Apa orang itu akan kamu kira santun? Tidak kan? Secara kebudayaan, menyombong perolehan selalu diasumsikan dengan individu yang tidak santun dan narsis. Karenanya, kita usaha menyepelekan nilai positif diri dan merendahkan diri supaya kelihatan rendah hati.
Self Deprecating Jokes
Contoh Self-deprecating jokesLelucon yang menertawai diri kita atau self-deprecating jokes sering kita jumpai di sosial media, baik itu di FaceBook, Twitter, atau Instagram, mirip contoh yang di atas. Self-deprecating jokes telah ada lama dan study Matwick dan Matwick (2017) menggerakkan gagasan bila gurauan ini sebagai salah satunya langkah untuk berbicara.
Tentu saja tidak salah untuk lakukan gurauan semacam ini, malah pada sesaat dapat menolong membuat kita berasa lebih bagus. Tetapi, jika dipakai untuk cari perhatian telah berbeda kembali ya kasusnya.
Menurut Dr Sheri Jacobson, direktur medis di Harley Terapi, tidak seluruhnya orang lakukan Self-deprecation secara menyengaja dan itu sebagai titik awalnya masalahnya. Rutinitas untuk lakukan self-deprecation menjadi pertanda awalnya harga diri yang rendah (Chandler, 2017).
Jika self-deprecation ini terus-terusan dilaksanakan dan beberapa orang lain sepakat dengan pengakuan itu, harga diri pribadi itu dapat jadi lebih kronis.
Apa Imbas dari Self-Deprecation?
Well, tentunya kita perlu menyaksikan kerangka dahulu saat sebelum memandang imbas-dampak dari self-deprecation ini. Kerap kali, beberapa orang dengan keyakinan diri yang rendah tidak menghargakan dirinya. Hingga cuman menyaksikan kekurangan mereka dan karena itu memandang diri mereka “tidak pantas, tidak sepadan, atau benar-benar kekurangan” (Rosenberg 1979, p.54 dalam Owens, 1993).
Walau self-deprecation diasumsikan dengan rendah hati, masih tetap ada terjadinya kemungkinan self-sabotage, efek yang dapat punya pengaruh jelek. Self-sabotage ialah sikap atau sudut pandang yang menghalangi dan menahan seorang untuk lakukan suatu hal (Raypole, 2019).
Kita tentu pernah berpikiran “wah kelihatannya ini mustahil”, “Mana aku sanggup, aku cuman orang biasa” atau “Mengapa sich saya semacam ini, bodoh sekali”. Pemikiran semacam itu cuman menahan kita di dalam meraih kedahsyatan, seolah-olah telah kalah saat sebelum berperang.
Self-deprecation secara stabil bisa mendorongmu makin jauh ke jurang kegelapan. Kamu menyaksikannya sebagai langkah membuat orang di sekelilingmu ketawa dengan mempertaruhkan harga diri dan keyakinan diri kamu. Nanti kamu akan makin meremehkan perolehanmu dan cuman fokus pada kekuranganmu. Berikut sejumlah imbas negatif self-deprecation yang bisa terealisasi:
Berasa stres dan kuatir
Lihat self-deprecation sebagai olokan pada diri kamu sendiri. Terkadang tidak ada apa-apa untuk melakukan, tapi bila dilaksanakan terus-terusan menjadi bahaya kan? Bahkan juga self-deprecating humour diasumsikan dengan stres dan kekhawatiran (Rnic, Dozois, dan Martin, 2016).
Jadi makin pesimis
Pikirkan bila seorang menjelaskan gurauan bila semua perolehan sepanjang hidupnya tidak bernilai dan ia cuman untung, apa kamu akan turut ketawa dengannya? Malah kamu akan berasa kasihan kan? Lewat self-deprecation, kebahagiaan baik kecil atau besar akan gampang lenyap karena orang itu tidak fokus ke kebahagiaan itu.
Dampak Positif dari Self-Deprecation
Menariknya, self-deprecating mempunyai dampak positif! Penemuan Matwick dan Matwick (2017, p.33) menggagas bila gurauan yang menertawai diri itu ibarat kritikan pada diri kita dan sanggup kurangi judgement yang diterima.
Jurnal yang menganalisa self-deprecating humour (Chaerani dan Junaidi, 2019) pada account @dietstartstomorrow mendapati jika lewat gurauan semacam ini, beberapa penganutnya dapat lakukan self-disclosure berkenaan kegundahan atau segi negatif mereka dengan semakin nyaman. Di kerangka itu, self-deprecating humour membuat “safe ruang” yakni keadaan tanpa judgement atau olokan.
Lewat komedi yang semacam ini, sering beberapa orang dapat mendapati rekan baru yang rasakan hal sama. Gurauan ini ibarat memperkenalkan kita ke seseorang secara rendah hati dan sekalian memberitahukan mereka liabilitas kita. Bahkan juga pemakaian self-deprecating jokes dengan tepat bisa membuat seseorang berasa nyaman (Martin et al., 2013).
Di akhir hari, memang merendahkan diri menjadi sistem untuk mengawali pembicaraan, membuat rekan ketawa, atau merendahkan diri supaya tidak begitu tinggi hati. Tetapi, perlu dipantau supaya tidak begitu stabil dilaksanakan. Menertawai diri memang asyik, tapi jika terus-terusan terlalu berlebih kan?
“The neurotic who learns to laugh at himself may be on the way to self-management, perhaps to cure” – Gordon Allport (1968) dalam Brown (2019).
kunjungi juga terapi psikologi di jogja