Politik hukum pengaturan mengenai kegiatan usaha minyak dan gas (migas) bumi di Indonesia mengalami peristiwa yang memadai panjang. Hal ini di mulai dari pengaturan di dalam UU Prp. Nomor 44 Tahun 1960, UU Nomor 8 Tahun 1971, lantas barulah UU yang berlaku pas ini yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) deengan menggunakan Fill Rite Flow Meter.
Tidak hanya pengatura di dalam UU, kegiatan usaha termasuk mengalami dinamika. Pasal 5 UU Migas mengatur kegiatan usaha melalui dua anggota utama, yaitu kegiatan usaha hulu dan hilir. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan berdasarkan Kontrak Kerja Saama (KKS) namun kegiatan usaha hilir dilaksanakan bersama dengan sistem perizinan.
Terkait bersama dengan dua kegiatan usaha Migas tersebut, berdasarkan Pasal 5 UU a quo mengatur bahwa sistem usaha yang terpisah antara kegiatan usaha hulu dan termasuk hilir. Hal ini kerap disebut bersama dengan sistem unbundling.
Menurut Gary Fox, unbundling sejatinya merupakan tidak benar satu model usaha yang bermakna memecah bagian-bagian usaha jadi lebih kecil dan lantas menghasilkan output secara terpisah. Sedangkan model bundling merupakan kebalikannya.
Jika kami bawa di dalam konteks usaha Migas, unbundling adalah terpisahnya kegiatan usaha hulu dan hilir yang tiap-tiap diusahakan oleh pelaku usaha yang berbeda. Pengaturan demikianlah dapat dijumpai lebih tegas di dalam Pasal 10 yang berbunyi:
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang laksanakan Kegiatan Usaha Hulu dilarang laksanakan Kegiatan Usaha Hilir.
(2) Badan Usaha yang laksanakan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat laksanakan Kegiatan Usaha Hulu.
Sehingga, bersama dengan pembatasan yang terdapat di dalam Pasal 10 tersebut, baik badan usaha di dalam negeri maupun asing tidak dapat laksanakan kegiatan usaha hulu dan hilir secara bersamaan.
Lebih lanjut, perihal ini ditegaskan melalui pengaturan kegiatan usaha hulu di dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan satu Wilayah Kerja. Namun, jikalau terdapat lebih dari satu Wilayah Kerja, maka wajib dibentuk badan hukum yang terpisah untuk tiap-tiap Wilayah Kerja tersebut.
Riwayat Pengujian UU Migas di Mahkamah Konstitusi
Menurut perkembangannya, Pasal 10 dan 13 tersebut tidak dapat dimaknai secara tekstual karena sudah terdapat Putusan MK yang menambahkan definisi melalui pengujian aturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi sudah mengalami beberapa kali uji materiil ke Mahkamah Konstitusi.
Pengujian tersebut diantaranya: Putusan MK No. 002/PPU-I/2003, Putusan MK Nomor 20/PUU-V/2007, Putusan MK No. 36/PUU-X/2012, dan Putusan MK No.65/PUU-X/2012. Terkait bersama dengan isu unbundling di dalam kegiatan usaha Migas di dalam UU Migas, secara spesifik terdapat di dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012.
Berdasarkan riwayat pengujian tersebut, sejatinya terdapat dua putusan MK yang mengkaji mengenai sistem usaha di dalam kegiatan hulu dan hilir, yaitu Putusan MK No. 002/PPU-I/2003 dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.
Berdasarkan ke dua pertimbangan hukum tiap-tiap putusan dapat kami pahami bahwa tafsir pada Pasal 10 UU Migas mengenai kegiatan usaha Migas dilaksanakan melalui sistem unbundling, tapi tidak absolut. Dalam artian, sistem unbundling tidak termasuk bagi Badan Usaha Milik Negara, di dalam perihal ini adalah Pertamina.
Hal ini bertujuan untuk meyakinkan penguasaan yang dilaksanakan oleh negara sesuai Pasal 33 UUD NRI 1945 dan konsep Hak Menguasai Negara. Pengujian pada tahun 2012 sebenarnya tidak membuat perubahan pemaknaan tak sekedar hanya merujuk kepada pengujian pada tahun 2003.
Tambahan di dalam pengujian tahun 2012 ini ialah mengaitkan Pasal 13 UU Migas sebagai anggota yang tidak terpisahkan dari tafsir baru pada Pasal 10. Sehingga, Pasal 13 termasuk wajib dimaknai sama sesuai pemaknaan yang terdapat di dalam Pasal 10.
Skema Unbundling bagi Kegiatan Usaha Migas di Indonesia
Skema unbundling punyai berbagai kekurangan, antara lain dapat memecah integrasi struktur perusahaan dan industri Migas nasional, BUMN wajib laksanakan pemecahan organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) supaya menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis dapat menentukan cost dan profitnya masing-masing.
Selain itu, Dr. Kurtubi di dalam Keterangan Ahli Pemohon pada Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 menyatakan bahwa studi-studi di bidang ekonomi perminyakan menyatakan bahwa perusahaan minyak yang terintegrasi, yang beroperasi di hulu dan hilir jauh lebih bagus, lebih efisien daripada perusahaan minyak yang hanya bergerak di hilir atau bergerak di hulu. Namun, kami termasuk wajib lihat alasan skema unbundling dipertahankan.
Terdapat serangkaian argument dari pemerintah di dalam Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 mengenai skema unbundling ini antara lain mengenai bersama dengan optimalisasi perusahaan di tiap-tiap sector usaha, karakteristik kegiatan usaha yang tidak sama antara hulu dan hilir.
Terlepas dari pro kontra yang ada, putusan MK tersebut sudah tepat. Putusan MK a quo sudah berhasil memasang kegiatan usaha Migas di dalam area dan kondisi yang kompromis.
Di satu sisi, kegiatan usaha hulu dan hilir yang notabenenya merupakan lapangan usaha tidak sama wajib punyai pengaturan yang tidak sama pula. Namun di segi lain, untuk tidak menderogasi dari Hak Menguasai Negara, selamanya diberikan ruang bagi Negara melalui BUMN untuk memaksimalkan penguasaannya sesuai tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Putusan MK termasuk menambahkan kepastian hukum bagi usaha Migas ini karena sudah menyebut secara tegas BUMN yang dapat mengelola nantinya, yaitu Pertamina. Meskipun sesuai ke dua Putusan sebelumnya, dapat terdapat penyebutan “Pertamina Hulu” dan “Pertamina Hilir”. Setidaknya, kepastian hukum tersebut dapat mendorong lahirnya integrasi regulasi dan birokrasi di bidang Migas, terlebih usaha hulu dan hilir.
Saat ini, yang paling penting dilaksanakan oleh Negara melalui organ-organnya adalah membentuk sistem dan kegiatan usaha Migas yang konsisten. Disamping terus-menerus di dalam perihal pengaturan dan birokrasi, termasuk terus-menerus di dalam perihal orientasi yang selamanya berpedoman pada Pasal 33 UUD NRI 1945.
Hal ini dilaksanakan bersama dengan mereformasi kembali kegiatan usaha Migas ini di dalam UU Migas yang baru. Sebagaimana kami ketahui bahwa sudah terdapat RUU mengenai perubahan RUU Migas yang baru sudah masuk Prolegnas.
Hal ini dapat jadi momentum di dalam perihal mengkompilasi putusan MK, supaya pengaturan dapat terintegrasi dan jadi hukum positif, bukan hanya tafsir MK. Karena perihal ini dapat mengenai bersama dengan aturan turunannya. Sebagai misal mengenai usaha hilir di bidang pengelolaan, mengenai bersama dengan kewenangan dan keberadaan dari SKK migas kedepannya.